Judul
|
AKU
Berdasarkan Perjalanan Hidup dan Penyair Chairil Anwar
|
Pengarang
|
Sjuman Djaya
|
Penerbit
|
PT. Metafor Intermedia Indonesia
Jl. Arteri Pondok Indah No. 1 Jakarta 12310
|
Cetakan
|
Kedua, Tahun 2003
|
Cetakan Pertama
|
1987
|
Tebal Buku
|
xii + 155 hlm
|
Ukuran Buku
|
19, 7 cm
|
Harga Buku
|
Bom atom
pertama meledak di kota Hiroshima.
Langit
berselaput awan cendawan berbisa.
Ketika
memburai awan ini, bumi laksana ditimpa hujan salju yang ganas.
Gedung-gedung
beton runtuh.
Aspal-aspal
jalan terbakar menyala.
Bumi
retak-retak berdebu, di segala penjuru.
Dan beribu
tubuh manusia meleleh, tewas atau terluka.
Seekor kuda
paling binal,
berbulu putih
dan berambut kuduk tergerai,
berlari di
pusat kota jakarta.
Tidak peduli
pada yang ada,
sekelilingnya
juga tidak pada manusia.
Dia merengkik
alangkah dahsyatnya,
menampak dan
menyepak alangkah merdekanya.
Dunia ini seolah
cuma menjadi miliknya!
Dan sekaligus
seolah dia bicara:
kalau sampai waktuku
kumau tak seorangkan merayu
tidak juga kau
tak perlu sedu sedan itu
aku ini binatang jalang
dari kumpulannya terbuang
kumau tak seorangkan merayu
tidak juga kau
tak perlu sedu sedan itu
aku ini binatang jalang
dari kumpulannya terbuang
Gaung suara ini
seolah membelah
langit,
membelah bumi.
Membelah juga
rel kereta api
di pinggir
kota.
Akhirnya juga
membelah
peron stasiun
yang
berpagar kawat
duri.
Tapi sang kuda
binal
melompat tidak
peduli.
Sepotong ujung
kawat duri
menggores perut
menggores paha
juga.
Darah segar
menyembeur keluar.
Membuat noktah-noktah
merah
di bulunya yang
putih.
Tapi dia Cuma menengadah
ke udara,
dan meringkik
lagi:
biar peluru menembus kulitku
aku
tetap meradang menerjang
luka
dan bisa kubawa berlari,
berlari
berlari
hingga
hilang pedih peri…
Sampai juga
sang kuda melayang
di atas gerbong
kereta dan gubuk-buguk liar,
gerbong dan
gubuk busuk,
milik
perempuan-perempuan berdaki.
Meneteslah
darah segar,
ketika kuda
melayang di atas sana.
Dan jatuh
menimpa
sebuah wajah
dari:
Lelaki kurus
berambut panjang,
bermata cekung
tapi tajam,
berdada
telanjang dan kurus bertulang-tulang.
Tapi dialah
lelaki resah,
berwajah gelsah
dan mata merah.
Lelaki yang
baru saja keluar dari pintu reot
sebuah gubuk
yang basah.
Lelaki itu
terkejut seketika,
memandang
langit sambil mengusap mukanya.
Dia cuma
menemukanlanit kosong
di ujung-ujung
atap gubuk yang menyesak.
Langit yang
kerut-merut tanpa cahaya.
Sedang di
kejauhan,
masih tinggal
tersisa
sepotong
ringkikan sang kuda:
dan
aku akan lebih tidak peduli
aku mau hidup
seribu
tahun lagi!aku mau hidup
...
Chairil Anwar, ternyata berada di sebuah ruang interogasi, pada sebuah penjara milik KenpeTai. Tubuh yang kerempeng itu di telanjangi oleh dua prajurit Jepang, sementara seorang opsir Nampak berdiri agak jauh menyaksikan. Opsir ini pernah kita lihat di studio pusara pimpinan Sudjojono, bernama Shimitshu.
Salah seorang prajurit kelihatan membentak sambil
menghajar muka Chairil sampai terlempar melayang membentur dinding jeruji besi
dan jatuh. Prajurit lain mencekal tangannya dan berusaha mengangkat tegak. Tapi
Chairil menolak, bahkan membentak:
“Hayuh, pukul lagi! Kita lihat, siapa lebih dulu menyerah pada kebinatangan ini!”
Dan memang prajurit yang tangannya dikibaskan tadi
jadi penasaran dan menendang dengan sepatunya ke arah muka Chairil yang sedang
berusaha tegak berdiri. Chairil kembali terpelanting, tapi dia segera tegak dan
maju ke depan prajurit pertama sambil kembali menghardiknya:
“Biar
peluru menembus kulitku sekalipun, aku akan tetap menerjang! –
(Chairil berdarah mulutnya dan tertawa menyeringai
ke arah Opsir Shimitsu)
–
Aku bilang, luka dan bisa ini akan kubawa berlari bersama jutaan rakyat di seluruh Asia Timur Raya ini. Sampai hilang
pedih peri! Dan kamu mampus di ujung pedang yang kamu asah sendiri!
Kawan-kawan, mari kita ayun pedang, ke dunia terang!”
...
Ternyata perempuan itu memasuki halaman yang cukup besar di
kampong itu. Chairil ikut masuk, dan perempuan kembali menyerbu dengan
sengitnya:
“Sudah, sampai sini saja, kamu! Berani masuk, aku
panggilkan ayahku!”
Habis menyembur itu Perempuan terus berlari masuk ke dalam
rumah. Tapi sebelumnya Chairil sempat menyahuti:
“Ah, akan sia-sia sekali kalau aku sampai tidak jumpa
ayahmu!”
Chairil terus naik ke teras depan dan duduk di
kursi tamu yang ada di sana. Tenang saja.
Ah gajelas nih artikel
BalasHapusartikel ini hanya ringkasan, silahkan baca bukunya agar lebih lengkap dan mengerti ^_^b
BalasHapus